BAB I
PENDAHULUAN
Qawaidul fiqhiyah
(kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa
fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum
mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Qowaidh fiqhiyah
mempunya beberapa induk qaidah. Dalam makalah ini kami selaku penulis
mencoba untuk menerangkan salah satu induk dari kaidah-kaidah fiqh yang kelima
yaitu Al ‘aadah Muhakkamah (Adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu
hukum) yang diambil dari Kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hokum
dengan melihat sifat dari hukum itu sendiri yang senantiasa mengalami perubahan
sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Kaidah tentang al-’adah
al-Muhakkamah. Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu
hukum kully (menyeluruh) yang mencakup semua bagian-bagiannya. Qawa’id
fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, salah satu kaidah fiqh yaitu al-‘adah
al-muhakkamah (adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum)
yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai
dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan menguasai
kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh,
karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih
arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus,
adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di
dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih
mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang
dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kaidah Al-‘Adah
Muhakkamah
اَلْعَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat
dijadikan hukum”
Yang dimaksud dengan kaidah ini
bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum
ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan
pijakan hukum. Oleh karena itu, sebelum mengurai kaidah ini, perlu diketahui
terlebih dahulu tentang adat.
Secara bahasa, al-'adah diambil
dari kata al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار ).
Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa
diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan
satu kali belum dinamakan adat.
Adapun definisi al-'adah menurut
Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة
عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan dari apa yang
terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh
tabiat (perangai) yang sehat”.[1]
Dalam pengertian dan subtansi
yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara
harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal
manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.[2]
االعرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى
اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan
mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut
menjadi biasa dan berlaku umum"
Dari dua definisi di atas, ada
unsur berulang-ulang dilakukan dan dalam al-‘urf ada unsur (al-ma’ruf) dikenal
sebagai sesuatau yang baik. Kata-kata al-‘urf ada hubungannya dengan tata nilai
di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan
masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan diucapkan. Hal ini erat
kaitannya dengan “al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar” dalam
Al-Qur’an. Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah atau al-‘urf ini
didefinisikan dengan: “apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara
umum (al-‘adah ‘al-‘ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.
Dengan demikian al-'adah atau
al-urf yang dapat dikatagorikan muhakkamah adalah budaya atau tradisi atau
kebiasaan dari sesuatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang memiliki
3 (tiga) ciri, yaitu :
1. Dianggap baik melakukan atau
meninggalkannya oleh manusia secara umum;
2. Dilakukan atau ditinggalkannya secara
terus-menerus dan berulang-ulang; dan
3. Tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan
As-Sunnah
Adapun Prof. Dr. H. Rachmat
Syafe'i, MA., secara lebih rinci menjelaskan bahwa suatu 'adat atau urf
bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Tidak bertentangan dengan syari'at;
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak
menghilangkan kemashlahatan;
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf tersebut sudah
memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan
dengan jelas.[3]
B. Dasar
Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah
1.
QS.
A'raaf (7) Ayat 199
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
“Jadilah
Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh.”
2.
Al-Hadits :
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا
فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ
عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa yang dipandang baik oleh
orang-orang Islam, maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang
buruk oleh kaum muslimin, maka menurut Allah-pun digolongkan sebagai perkara
yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari
Ibnu Mas'ud)[4]
C. Karakteristik Adat dan
Perbedaannya dengan ‘Urf
Ø Karakteristik, bentuk dan pembagian Adat / ‘urf
1. Urf qouli dan fi'ly
Urf qouly adalah kebiasaan adalah
jenis kata, ungkapan, atau istilah tertentu yang diberlakukan oleh sebuah
komunitas untuk menunjuk ma'na khusus, dan tidak ada kecenderungan makna lain
di luar apa yang mereka pahami Kebiasaan masyarakat Indonesia menyebut
ekor untuk satuan hewan, contoh seekor sapi, dua ekor kerbau dan
seterusnya. Yang dimaksud seekor bukan satu buntut sapi (dalam arti
sebenarnya), tetapi satuan bilangan untuk satu sapi, dua kerbau dan seterusnya.
Termasuk ke dalam urf qouly, di antaranya kaidah :
الحقيقة تترك بدلالة العادة
"Arti hakiki (yang
sebenarnya, ma'na denotatif) ditinggalkan karena ada petunjuk dari arti menurut
adat".
Adapun urf fi'li (dalam istilah
lain disebut urf amali) adalah pekerjaan atau aktivitas tertentu yang sudah
biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma sosial.
Contohnya kebiasaan menggelengkan kepala sebagai tanda tidak setuju,
menganggukkan kepala sebagai tanda setuju dan sebagainya. Termasuk ke dalam urf
fi'ly ini di antaranya kaidah :
الاذن العرف كالاذن اللفظ
"Pemberian idzin menurut
adat kebiasaan sama dengan idzin dengan ucapan".
2. Urf 'am dan khash
Jika ditinjau dari aspek
komunitas pelakunya, adat terbagi dua kategori umum yaitu urf iyah 'ammah
(budaya global atau universal) dan urf khashshoh (budaya lokal). Termasuk
urfiyah ammah adalah adanya ucapan atau pekerjaan yang telah berlaku di seluruh
dunia. Contohnya kata tholaq yang berlaku di seluruh dunia untuk menceraikan
istrinya atau mengangkat kedua belah tangan sampai ke atas kepala yang
berlaku di seluruh dunia untuk memberi tanda menyerah.
Adapun urf khashshah adalah adapt
kebiasaan yang hanya berlaku pada suatu bangsa atau daerah tertentu. Contohnya
tahlilan ketika ada kematian yang hanya berlaku pada sebagian masyarakat
Indonesia. Termasuk ke dalam urf 'am dan urf khash ini di antaranya berdasarkan
kaidah :
التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
"Ketentuan berdasarkan urf
seperti ketentuan berdasarkan nash"
3. Urf shahih dan fasid
Pembagian urf kepada shahih dan
fasid ini apabila didasarkan kepada nash yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Apabila
suatu suatu urf tidak bertentangan nash atau tidak merusak kemashlahatan, maka
dikatagorikan kepada urf shahih. Sedangkan apabila bertentangan dengan
nash atau menimbulkan kemafsadatan, maka dihukumi sebagai urf yang fasid.
Menurut para ulama adat yang
shahih ini boleh atau bahkan wajib dipelihara. Nabi saw-pun sangat apresiatif
pada cita kemashlahatan masyarakat Arab melalui adat-istiadat shahih
mereka. Contohnya syarat kafa'ah (kesepadanan) dalam perkawinan adalah
salah satu adat masyarakat Arab yang diapresiasi oleh Nabi saw dan kemudian
menjadi syari'at. Adapun urf yang fasid wajib dihilangkan, karena merusak
fondasi hukum-hukum syari'at dan ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi
cita kemashlahatan dan menolak keruksakan.
4. Urf sosial dan individual
Pembagian urf ke dalam urf sosial
dan urf individual ini hampir sama dengan urf 'am dan urf khash, bedanya urf
sosial mencakup urf 'am dan urf khash, sedangkan urf individual hanya
berlaku untuk orang perorangan. Dalam khazanah fiqh, ternyata ada hukum-hukum
tertentu yang berlaku untuk perorangan.
Contohnya : Haram shalat
sunah setelah shalat ashar dan setelah shalat shubuh. Tetapi bagi orang
yang telah terbiasa atau dawam shalat sunnah ashar atau shalat sunah shubuh,
apabila suatu ketika ketinggalan tidak dapat melaksanakan sebelum ashar atau
sebelum shubuh, maka shalat sunah tersebut dapat dilaksnakan
setelah shalat ashar atau setelah shalat shubuh.
Demikian pula puasa pada
hari syak yang hukumnya haram, tetapi bagi orang yang telah terbiasa puasa
sunah, puasa tersebut menjadi tidak haram.
> Perbedaan antara al-’Adah dengan al-’Urf al-urf
Proses pembentukan ‘adah adalah
akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus, dan ketika
pengulangan tersebut bisa membuat tertanam dalam hati individu, maka ia sudah
bisa memasuki wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi ‘urf (haqiqat
al-‘urfiyyah), sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul pertama kali
dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.
Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan
bahwa ‘adah dan ‘urf dilihat dari sisi terminolgisnya, tidak memiliki perbedaan
prinsipil, artinya penggunaan istilah ‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu
perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda.
Sekalipun demikian, fuqaha tetap
mendefinisikannya berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai kebiasaan yang
dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif
manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Dari pengertian inilah, baik dan
buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan urgen, selama dilakukan sevara
kolektof, dan hal seperti masuk dalam ketegori ‘urf. Sedang ‘adah
mendefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah
dilakukan oleh individu maupun kolektif.
Dari pengertian tersebut, dapat
diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘adah dan ‘urf itu jika dilihat dari
aspek yang berbeda, yaitu:
-
‘urf hanya
menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan oleh
sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya.
-
‘adah hanya
melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau kelompok, serta
obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.
Sedangkan persamaannya, ‘urf dan ‘adah merupakan sebuah
pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan
berulang-ulang serta sesuia dengan karakter pelakunya. [5]
Maka, dapat disimpulkan bahwa
istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek
yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek
pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di
samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf
harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya
melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek
pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang
sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan
sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering
pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf
yang sering
disebut dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah
segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). [6]
D. Contoh Kasuistik Terkait (Kehidupan
Keseharian atau Peribadatan)
a)
Contoh
‘adah yang hanya dilakukan sekali saja
Contoh:
-
Kasus
pemberian bingkisan kepada calon hakim Agung sebelum ia terangkat menjadi
seorang hakim Agung di Mahkamah Agung
Pemberian
yang dilakukan sekali ini, sudah bisa dikategorikan sebagai ‘adah (budaya),
jika pada akhirnya saat orang tersebut kembali memberikan parsel kepada hakim
saat melakukan putusan hukum yang berkaitan dengannya, sehingga pemberian
parsel itu, tidak bisa dikategorikan sebagai al-risywah (suap), sebab
sudah ada satu kali pemberian bingkisan yang sudah dianggap ‘adah (budaya)
sebelum hakim menggunakan otoritasnya sebagai penegak hukum.
-
Kasus
perkiraan masa menstruasi dan masa suci.
Dalam
menaggapi kasus ini, Imam al-Nwawi berpendapat bahwa darah yang keluar dan
dianggap ‘adah itu, dengan satu kali peristiwa. Kasus ini bisa dilihat dari kondisi wanita
yang mubtadi’ah mumayyizah, yaitu wanita yang sejak pertama kali haid
sudah bisa membedakan antara darah yang kuat dan darah yang lemah. Jika
demikian, fuaha memiliki pendapat sama bahwa darah yang dikeluarkan kedua itu
adalah darah al-isthiadlah (darah penyakit), sehingga dengan pertama kali ia
mengeluarkan darah haidh, ia sudah dinilai akan mengalaminya secara konstan,
sedang darah istihadlah, termasuk darah penyakit yang keluar secara stimulant
dari waktu kewaktu (luzumiyah),sehingga ketika ia sudah mengaami satu
kali, maka seterusnya akan terus terjadi sesuai dengan cirri-ciri awalnya.
Oleh sebab
itu, untuk bulan kedua ia tidak harus menunggu 15 hari untuk melaksanakan
ibadahnya, akan tetapi cukup hanya ketika ia melihat terjadinya perpindahan
darah dari yang kuat ke yang lemah, dengan memendang satu peristiwa kebiasaan
pada bulan sebelumnya bahwa dirinya sedang mengalami istihadlah.
b)
‘Adah
harus terjadi minimal 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali
Contoh :
-
Kasus
orang yang memiliki kemampuan telapati untuk menentukan nasab seorang bayi (al-qa’if)
Dalam
menanggapi kasus ini, fuqaha menyatakan bahwa pengulangan valid informasinya
tidak cukup hanya sekali, tetapi harus berulang-ulang kali, sekalipun fuqaha
berbeda pendapat dalam hal kuantitas bilangannya.
-
Kasus
tentang ukuran darah haid dan kebiasaan suci yang sedang dialami oleh wanita
mu’taddah ketika kan menentukan status hukum darah haid dan istiadhadlahnya
saat keluar darah yang lebih dari 15 hari.
Hal ini fuqaha berbeda dalam
memberikan solusinya perihal standarisasi masa haidh dan kebiasaan suci ini
dalam hal apakah cukup hanya satu kali atau dua kali kebiasaan.
c)
‘adah yang
tidak ada hitungan bilangam secara pasti, sebab yang menjadi titik penekanan
(stressing/ wajhu al-dilalah) adalah tercapainya dugaan kuat bahwa apa
yang terjadi itu, benar-benar terjadi dan sesuai dengan apa yang telah terjadi
itu, benar-benar terjadi dan sesuai dengan apa yang telah ditentukan syari’at.
Contoh :
-
Kasus anak
yang umurnya belum mencapai dewasa, tatapi sudah bisa melakukan transaksi
tawar-menewar ketika membeli barang,ia bisa mengajukan harga yang labih randah
dari harga yang ditawarkan penjual, ia sudah memiliki naluri untuk menawarkan
barang jualannya dengan menggunakan harga yang lebih tinggi dari harga yang
telah diajukan pembeli. Jika demikian, maka seorang wali (orang yang menguasai)
sudah dianggap boleh mempercayainya untuk melaksanakan transaksi jual-beli.
-
Kasus
suara berkokok ayamjantan sebagai tanda terbitnya fajar, dan keluarnya burung
kelelawar sebagai tanda terbitnya matahari dan sebagainya.
-
Kasus
wanita istiadhlah, dimana keluarnya darah berlangsung secara terputus-putus,
sedang warna darahnya hanya satu, sehingga sulit dibedakan mana darah haidh dan
mana darah istiadhlah. Hal ini orang tidak bisa mengambil kesimpulan soal
standarisasi hari-hari haidh yang bisa dijadikan pijakan, sebab dalam kasus ini
tidak ditemukan adanya ‘adah.
d)
‘Adah yang
tidak bisa diketahui dengan melihat satu pengulangan atau lebih. Hal ini
terjadi pada kasu tawaquf (tidak melakukan ibadah pada saat tidak keluar
darah) bagi wanita yang keluar darah secara terputus-putus.
Dari
kenyataan seperti itu, dapat disimpulkan bahwa kasus bilangan ‘adah itu
tergantung pada kasus yang sedang dihadapi, sedang untuk bisa dikatakan ‘adah
itu apakah harus mencapai bilangan satu, dua, tiga dan seterusnya, tergantung
pada obyek hukum yang sudah dihadapi. [7]
BAB III
KESIMPULAN
Kaidah fikih asasi kelima adalah
tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang
berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf
adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan
secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah
adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang
berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek
pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di
samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf
harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya
melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek
pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang
sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan
sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering
pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf
--yang sering disebut dalam al-Qur’an diderivasikan. Oleh karena itu, makna
asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat
(kepantasan). Hukum yang
didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti
bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang
baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah. Adapun adat itu dapat
dijadikan sebagai landasan hukum apabila:
v Tidak bertentangan dengan nash
v Berlaku umum
v Tidak menimbulkan kerusakan atau kemafsadatan
v Dan adat itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu
peristiwa yang akan dilandaskan pada ‘urf itu.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Djazuli H.A., , Kaidah-Kaidah Fikih,
2007,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2.
Haq Abdul, dkk, Formulasi Nalar
Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, 2006, Lirboyo: Khalista & Kakilima
Lirboyo.
Prof. Dr., MA Syafe'I
Rachmat,. Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3,
2007)
Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah
Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), 2010, Malang: UIN Maliki Press
[1] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah
Fikih, 2007, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, cet. Ke-2, hlm. 80
[2] Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, 2007 , Bandung: Pustaka Setia,
cet. Ke-3, hlm. 128.
[3] Rachmat Syafe'I, Prof.
Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, 2007, Bandung: Pustaka Setia, cet. Ke-3, hlm. 291
[5] Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah
Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),2010, Malang: UIN Maliki Press, hlm.
208-209
[6] Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, 2006 Surabaya: khalista
& Kakilima Lirboyo, hlm 293
Tidak ada komentar:
Posting Komentar