RAHN (GADAI)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam
kehidupan ekonomi sekarang ini sangat tidak adil karena hanya menguntungakan
pihak-pihak pemodal besar hal tersebut di sebabkan oleh sistem ekonomi
kapitalis yang selalu menggrogoti keuntungan-keuntungan dengan tidak
mengindahkan dari prinsip kemanusiaan, tolong-menolong, dan prinsip-prinsip
lainya yang ada di islam, oleh karena itu denggan adanya permasalahan tersebut
maka hadirlah makalah ini untuk mempelajari gadai.
BAB
II
PEMBAHASAN
B. Pengertian
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn
adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan
utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa
ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun
rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu berdasarkan firman Allah
SWT dalam QS. Al-Mudatstsir (74) ayat 38 sebagai berikut. [1]
كُلُّ
نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“setiap
orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”
Yang dimaksud “tetap” dan kekal
adalah makna dalam kata al-habsu, yang artinya menahan. Kata tersebut
bersifat materi. Jadi ar-rahn menurut bahasa berarti “menjadikan sesuatu
barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang
mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut
diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau
orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut
memberikan kekuasaan kepada orang yang memberi utang untuk menggunakan barang
bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang
tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.[2]
Berikut pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan oleh para
ahli hukum Islam.
1.
Ulama
Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut, yang artinya:
Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang
dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
2.
Ulama
Hambali mengungkapkan sebagai berikut, yang artinya:
Suatu benda
yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya bila yang
berutang tidak sanggup membayar utangnya.
3.
Ulama
madzhab Maliki mendefinisikan sebagai berikut:
Sesuatu yang
bernilai harta yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang
yang tetap (mengikat).
4.
Muhammad
Syafi’I Antonio
Gadai syariah (rahn)
adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang
jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang
diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian,
pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) mem[eroleh jaminan
untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.[3]
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa gadai berarti menahan barang jaminan milik si
peminjam yang bersifat ekonomis sebagai jaminan, agar pihak yang menahan
mendapat jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari
barang gadai tersebut, apabila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar
utang pada waktu yang ditentukan
C. .
HADIST-HADIST TENTANG RAHN
H .R Bukhori no 1926
JALUR SANAD
KE - 1
ﻋنْ أَنَسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَن دِرْعًا لَهُ
عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِالْمَدِينَةِ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ
“Anas Ibn Malik suatu
saat mendatangi Rasulullah dengan membawa roti gandum dan sungguh Rasulullah
SAW telah menangguhkan baju besi kepada orang Yahudi di Madinah ketika beliau
mengambil (meminjam) gandum dari orang Yahudi tersebut untuk keluarga
Nabi.”
ﺍﻠﺭﻫﻥﹸﻴﺭﻜﺏﹸﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺﺇﺫﹶﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻟﺒﻥﹸﺍﻟﺩﱠﺭﱢﻴﺸﺭﺏﹸﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺﺇﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻋﺎﻰﺍﻠﺫﻱ ﻴﺭﻜﺏﹸﻭﻴﺸﺭﺏﹸﺍﻠﻨﻔﻘﺔﹸ
“Binatang
tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila
sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan
atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang
menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberi makanan.”(Hr. Bukhori,
no.2512).
ﺣﺪﺛﻨﺎﻣﺴﺪد:ﺣﺪﺛﻨﺎﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﻋﻤﺶﻗل:ﺗﺬاﻛﺮﻧﺎﻋﻨﺪاﺑﺮﻫﻴﻢاﻟﺮﺣﻤﻦﻮاﻟﻘﺒﻴﻞ
ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎلٳﺑﺮاﻫﻴﻢ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎلٳﺑﺮاﻫﻴﻢ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اشْتَرَى طَعَامًا
مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا لَهُ مِنْ حَدِيدٍ
Terjemahannya:
Meriwayatkan Musaddad:
Meriwayatkan ‘Abdul Wahid: Dari al-A’masyi, dia berkata: Kami membicarakan
masalah gadai dan memberi jaminan dalam jual-beli sistem salaf di samping
Ibrohim. Maka Ibrohim berkata: “al-Aswad telah menceritakan kepada kami dari
Aisyah ra bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi hingga waktu yang
ditentukan (tidak tunai) dan menggadaikan baju besinya.”[4]
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)[5]
الظَّهْرُ
يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan
atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang
diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan
makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits
shahih).
الرَّهْنُ
يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ
النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan
atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang
diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan
makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).
لَهُ
غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ
“Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib
baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)
Tujuh hadits di atas secara jelas menggambarkan fakta
sejarah bahwa pada zaman Rasulullah SAW gadai telah dipraktekkan secara luas. Hadits pertama dan kedua menegaskan Rasulullah SAW pernah melakukan hutang
piutang dengan orang Yahudi untuk sebuah makanan. Kemudian beliau menggadaikan
(menjaminkan) baju besinya sebagai penguat kepercayaan transaksi tersebut.
Sedangkan hadits ketiga, keempat, dan kelima Rasulullah SAW telah menegaskan akan
hak dan kewajiban bagi pihak- pihak yang melakukan akad gadai. Murtahin dapat
memanfaatkan kendaraan yang digadaikan kepadanya, selama ia mau merawatnya.
Hal- hal tersebut merupakan landasan hadits yang cukup kuat bahwa gadai adalah
sesuatu yang dianggap syah.
Hadits kelima diriwayatkan
oleh Bukhori, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Pada intinya pegadaian itu boleh dan
barang yang digadaikan harus tetap dirawat. Ada 3 pendapat mengenai hadits di
atas:. pertama, Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa piutang boleh
memanfaatkan barang dan pemanfaatannya sesuai dengan nafkah yang diperlukan. Kedua,
Abu Tsawr berpendapat barang boleh dipegang oleh orang yang menggadaikan. Boleh
tetap diambil manfaat selama diberi nafkah. Ketiga, Syafi’I berpendapat
bahwa masing- masing pihak tidak boleh mengambil manfaat sebab hanya sebagai
barang kepercayaan tetapi orang yang merawat adalah si penggadai.
Pada hadits keenam adalah
tentang himbauan untuk tidak menutup hak gadaian terhadap penyitaan barang
gadaian. Hadits ini diriwayatkan oleh Asy Syafi’I, Al- Atsram dan darul quthni serta ia mengatakan “Sanadnya hasan muttashil. Ibnu hajar dalam
bulughul maram mengatakan “Para perawinya tsiqat. Sesungguhnya (data) yang
tersimpan pada Abu Daud dan lainnya, hadits mursal.
Dan pada hadits ketujuh
tentang perolehan pemanfaatan barang gadaian. Dalam hal ini ada beberapa
pendapat, Asy-Syafi’I berkata “Tak sesuatupun dari yang demikian itu
termasuk dalam barang gadaian”. Dan Imam Malih berkata: Tidak masuk kecuali
anak binatang dan anak pohon kurma. Barang gadaian adalah amanat yang ada
ditanggung pemegang gadaian, ia tidak berkewajiban meminta ganti kecuali jika
melewati batas (kebiasaan), demikian menurut Ahmad dan Asy-Syafi’i.
Dengan adanya beberapa
pendapat dari para ulama di atas, dapat diartikan bahwa Gadai (rahn) sendiri
secara bahasa artinya tetap dan lestari, seperti juga dinamai Al-Habsu, artinya
penahanan. Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama
dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa
dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi
utangnya.”
“Atau harta benda yang
dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai barang
jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Memberikan harta sebagai
jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta atau nilai
harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.”
Adapun beberapa rukun dalam
melakukan gadai. yaitu:
1.
Ar-rahn atau al-marhun (barang yang
digadaikan),
2.
Al-marhun bih (utang),
3.
Aqidain, dua pihak yang
bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (pemberi
utang),
4.
Shigat Ijab Qabul.
Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn
(gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia
adalah transaksi.
Agar terpenuhinya rukun, maka diperlukan syarat
dalam pemenuhannya, yaitu: Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang
yang bertransaksi), yaitu :
a.
orang yang menggadaikan barangnya
adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan
rusyd (memiliki kemampuan mengatur).
Syarat yang berhubungan dengan al-marhun
(barang gadai), yaitu:
1)
Barang gadai itu berupa barang
berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si
peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
2)
Barang gadai tersebut adalah milik
orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya
sebagai jaminan gadai.
3)
Barang gadai tersebut harus
diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau
harta sehingga disyaratkan hal ini.
Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih
(utang) adalah utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
ü
Hak yang wajib dikembalikan kepada
kreditor
ü
Utang bias dilunasi dengan agunan
tersebut
ü
Utang jelas dan tertentu.
Syarat yang
terkait dengan shighat ijab qabul; ucapan serah terima disyaratkan; harus ada
kesinambungan antara ucapan penyerahan (ijab) dan ucapan penerimaan. Apa yang
diucapkan oleh kedua belah pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.
v Hukum-hukum
Setelah Serah Terima
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya
serah-terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan
barang gadai, pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai
rusak atau hilang, di antaranya:
Pertama, pemegang barang gadai.
Barang gadai tersebut berada
ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat
barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan
murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila
barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka
murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan
nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut).
Tentunya, pemanfaatannya
sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal
ini di dasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Syekh al-Basam menyatakan,
“Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.”
Demikian juga, pertumbuhan dan
keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu
kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pen).
Penulis kitab al-Fiqh
al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak
pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh
mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang)
untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan
dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu
adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.
Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau
hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya
dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai
tersebut, tanpa izin dari penggadai,
Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun
mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah
berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai,
dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan dalil sabda Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam,
Tidak ada ulama yang
mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya
kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena dalil hadits
shahih tersebut. Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan
kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat
menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki
hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan
padanya
.
Bila barang gadai tersebut
berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan tidak diperas susunya,
maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan
tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai,
pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil
manfaat, yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua
manfaat itu dengan cara menafkahi (hewan tersebut).
Bila murtahin menyempurnakan
pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini ada kompromi
dua kemaslahatan dan dua hak.”
Ketiga, pertumbuhan barang gadai.
Pertumbuhan atau pertambahan
barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya bergabung dan adakalanya
terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia termasuk dalam
barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia terpisah, maka terjadi
perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya,
berpandangan bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi
setelah barang gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada
barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang
menyepakatinya, berpandangan bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang
gadai tidak ikut serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang
menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm berbeda pendapat dengan Syafi’i dalam
hal kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam
kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi
milik orang yang menafkahinya.
Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang gadai.
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada
murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang
yang menggadaikannya (rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.
Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang
telah jatuh tempo, sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya,
maka pihak yang memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara
langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).
Kemudian, Islam membatalkan
cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat
pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi pinjaman. Karenanya, pihak
pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan barang tersebut
untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu melunasi utangnya tersebut.
Bila dia tidak mampu melunasi
utangnya saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar
pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata hasil penjualan tersebut masih ada
sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi milik pemilik barang gadai (orang
yang menggadaikan barang tersebut). Bila hasil penjualan barang gadai tersebut
belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih
menanggung sisa utangnya.
Demikianlah, barang gadai
adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila pembayaran utang telah
jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik
piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya, karena itu adalah utang
yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang tanpa gadai.
Bila ia dapat melunasi
seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka
murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau
sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (rahin) untuk menjual
sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin, dan
murtahin didahulukan atas pemilik piutang lainnya dalam pembayaran utang
tersebut.
Apabila penggadai tersebut
enggan melunasi utangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh
menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Dan
apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai
tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat
Mazhab Syafi’iyah dan Hambaliyah.
Malikiyah berpandangan bahwa
pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya, serta boleh
melunasi utang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah
berpandangan bahwa murtahin boleh menagih pelunasan utang kepada penggadai,
serta meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila dia tampak tidak mau
melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya.
Pemerintah hanya boleh memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya,
dalam rangka meniadakan kezaliman.
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan
melunasi utangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan si
penggadai, karena tujuannya adalah membayar utang dan itu telah terealisasikan
dengan penjualan barang gadai. Selain itu, juga akan timbul dampak sosial yang
negatif di masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang)
dipenjarakan.
Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh
utangnya maka selesailah utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka
penggadai tersebut tetap memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai
barang gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi
sisa utang tersebut.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai,
tidak seperti realita yang banyak berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang
gadai yang ada padanya, walaupun nilainya lebih besar dari utang si pemilik
barang gadai, bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk kezaliman yang
harus dihilangkan.[6]
Akad
Perjanjian Gadai
Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa penggadaian
dapat sah bila memenuhi tiga syarat:[7]
a.
Harus berupa barang,
karena uang tidak bisa digadaikan.
b.
Penetapan kepemilikan
penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf.
c.
Barang yang digadaikan
bisa dijual manakala sudah masa pelunasan utang gadai.
Berdasarkan tiga syarat di atas, maka dapat
diambil alternatif dalam mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan
tiga akad. Ketiga akad perjanjian tersebut adalah:
1.
Akad
al-Qardul Hasan
Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif, oleh karena itu
nasabah (rahin) akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang
gadai (marhun) kepada pegadaian (murtahin)
2.
Akad
al-Mudharabah
Akad yang diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif.
Akad yang diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif.
3.
Akad
Bai’ al- Muqayadah.
Akad
ini diberikan kepada nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif. Seperti
pembelian alat kantor, modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat
menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal kerja yang diingginkan oleh rahin.
Barang gadai adalah barang yang dimanfaatkan oleh rahin ataupun murtahin
Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional:
1.
Rahn dalam
hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari
keuntungan. Sedang, gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong
menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang
ditetapkan.
2.
Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang begerak.
Sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh benda,
baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
3.
Dalam rahn tidak ada istilah bunga.
4.
Gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di
Indonesia disebut Perum Pegadaian, rahn menurut hukum Islam
dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.
v Manfaat
Gadai (Rahn)
Pemilik gadai berhak mengambil manfaat dan
pengembangannya karena barang itu menjadi miliknya. Orang lain tidak boleh
mengambil manfaatnya tanpa izinnya. Jika pemegang gadai meminta izin kepada
penggadai untuk memanfaatkan barang gadaian tanpa kompensasi dan modal dari
gadai dianggap sebagai hutang, maka yang demikian ini tidak sah karena telah
menjadi hutang dengan menarik manfaat.
Si murtahin
boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan itu kalau barang yang digadaikan
itu menghendaki nafkah, seperti sapi, kuda dan lain-lain atau memerlukan biaya
pemeliharaan atau penjagaannya. Dalam hal ini tidak ada halangan bagi si
murtahin untuk mengambil manfaatnya, umpamanya denganmemerah susunya atau
memperkerjakan sekedar untuk mengembalikan pengeluaran biaya pada barang
gadaian tersebut. Dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan :
Artinya : “ dari Abu Hurairah ra. dari Nabi SAW beliau
bersabda , punggung binatang yang dapat ditunggangi boleh ditunggangi bila ia
digadaikan dan susu binatang-binatang ternak itu boleh diminum, bila ia
digadaikan, dan orang yang menunggangi dan meminum itu, wajib atas nafkah (belanja)
binatang-binatang yang digadaikan itu” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Adapun barang yang tidak memerlukan belanja, umpamanya
rumah, kain, sawah, ladang, dan sebagainya, tidak halal diambil manfaatnya oleh
penerima gadaian. Hal itu berarti bahwa ia mengambil keuntungan pada uang yang
diutangkan padanya. Hal ini tidak diperbolehkan oleh agama.
Pendapat di atas adalah pendapat kalangan Hambaliah. Adapun mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan syafi‟iyyah
berpendapat bahwa pemegang gadai tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian
karena manfaatnya tetap menjadi hak penggadai. Hal ini berdasarkan hadits :
“Dia tidak berhak mendapatkan bagiannya dan
berkewajiban (membayar) hutangnya.” (Riwayat ad Daroqutni dan al-Hakim)
Tidak ada ulama yang memakai hadits tentang bolehnya memanfaatkan
sesuatu yang digadaikan dengan dikendarai atau diperah sesuai dengan biaya
perawatan yang dikeluarkan kecuali Imam Ahmad. Padahal, inilah pendapat yang
rajih (valid) karena berdasarkan hadits yang shohih.
Barang Tergadai yang Rusak
Syafi‟iyyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa kekuasaan orang yang menerima gadai adalah
kekuasaan kepercayaan sehingga ia tidak menanggung kerusakan barang gadaian
kecuali disebabkan oleh kesalahannya. Ini berdasarkan hadits :
“Ia
(pemegang gadai) tidak boleh menutup hak gadaian dari pemiliknya yang
menggadaiakn. Ia berhak memperoleh bagiannya dan dia wajib membayar hutangnya”
(Hadits riwayat Al-Baihaqi)
Jika pemegang gadai wajib menanggung barang gadai yang
rusak, maka tidak ada orang yang mau melakukannya karena takut menanggung.
Hanafiyyah berpendapat bahwa kekuasaan menanggung sehingga ia menanggung barang
gadai yang rusak dengan harapan minimal.
Mereka berargumentasi dengan hadits Atha‟ Ibnu Rabah
yang menceritakan bahwa seorang
laki-laki menggadaikan kuda. Kemudian kuda itu mati. Rasulullah SAW bersabda kepada pemegang gadai (artinya)
“telah hilang hakmu” (Riwayat Abu Dawud) Kalangan Malikiyyah membedakan antara
barang yang dapat disembunyikan, seperti perhiasan, dan barang yang tidak dapat
disembunyikan, seperti hewan dan pekarangan. Pemegang gadai menanggung pada
barang pertama dan tidak menanggung pada barang kedua kecuali karna
keteledoran. Pendapat yang rajih (valid) adalah bahwa barang gadai merupakan
amanat di tangan pemegang gadai berdasrkan hadits Said Ibnu Al Musayyab dari
Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi SAW bersabda :
”Ia
(pemegang gadaian) tidak boleh menutup hak gadaian dari orang yang
menggadaikannya. Ia berhak memperoleh bagiannya dan dia wajib membayar
hutangnya.” (Riwayat Ad Daroqutni dan Al Hakim)
Maksudnya, penggadai mempunyai hak manfaat atau hasil
dari barang yang ia gadaikan dan ia juga menanggung kerugian dan kerusakannya.
Penggadai telah rela menyerahkan amanah kepada pemegang gadai sehingga ia
seperti yang menitipkan barang. Imam Malik berpendapat bahwa sesuatu yang
tampak kerusakannya, seperti pekarangan, adalah amanah maka semuanya amanah.
Abu Hanifah berpendapat bahwa nilai barang gadai yang lebih dari nilai hutang
merupakan amanah, maka semuanya juga amanah.[8]
Hak Menjual
Barang Sendiri
Barang gadai adalah hak penggadai dan masih menjadi
miliknya. Jika ia telah mendapatkan hutang dengan jaminan barangnya, maka ia
wajib membayar hutang itu seperti hutang pada umumnya tanpa gadai. Jika ia
membayar semua hutangnya, maka ia berhak mendapatkan barang yang ia gadaikan.
Jika ia tidak dapat membayar semua hutang atau sebagiannya, maka ia wajib
menjual sendiri barang yang ia gadaikan atau mewakilkan orang lain dengan izin
pemegang gadai, kemudian ia membayar hutangnya. Jika penggadai tidak mau melunasi
hutangnya dan tidak mau menjual barangnya yang ia gadaikan, maka hakim
menahannya dan memaksanya untuk menjual barangnya. Jika ia tetap tidak
melaksanakannya, maka hakim yang menjualnya dan membayarkan hutangnya.
Demikian ini adalah pendapat Syafi‟iyyah dan
hanabilah. Malikiyyah berpendapat bahwa hakim menjual barang yang digadaikan,
membayarkan hutang penggadai, tetapi tidak menahannya. Hanafiyyah berpendapat
bahwa pemegang gadai berhak menuntut penggadai untuk melunasi hutangnya, dan
meminta hakim menahannya jika jelas-jelas menunda membayar hutangnya. Hakim
tidak boleh menjual barang yang digadaikan karena ia terkena hajr (ditahan dari
membelanjakan hartanya), yang berarti kehilangan kelayakan jual beli, maka ia
tidak boleh menjual barangnya yang digadaikan.
Akan tetapi, ia ditahan sampai ia menjualnya karena
mengantisipasi adanya kedzaliman. Pendapat yang rajih (valid) adalah hakim
boleh menjual barang gadai dan menggunakannya untuk membayar hutang penggadai
tanpa menahannya karena tujuannya adalah melunasi hutang, dan telah terwujud
dengan hal itu. Disamping itu, penahansn penggadai dapat mengakibatkan hal-hal
negativ di masyarakat. jika harga barang yang digadai dapat menuup jumlah
hutangnya, maka telah selesai urusan hutang piutang. Jika tidak cukup, maka
penggadai harus melunasi kekurangannya[9]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dengan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
praktek gadai sudah terjadi sejak zaman Rasulullah, yaitu ketika beliau
menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi. Oleh karena itu gadai
dibolehkan. Adapun beberapa pendapat ulama mengenai gadai, seperti Imam
Syafi’I, Ahmad bin Hambal, Abu Tsawr, Tirmidzi, Abu Daud yang menjelaskan gadai
dengan pemikiran mereka masing- masing.
Perjanjian menahan sesuatu barang
sebagai tanggungan utang. Pegadaian mempunyai landasan hukum yang terdapat dalam QS. al-Baqarah: 283. Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun dan
syarat gadai syariah. Dalam mekanisme perjanjian gadai, ,menggunakan
tiga akad perjanjian yaiu: akad al-qordul hasan, akad al-mudharabah, akad bai’ al-muqayadah.
Pada dasarnya gadai merupakan akad tabaruk, yaitu akad tolong menolong. Dimana
setiap manusia haruslah saling tolong menolong. Disini manusia menyadari bahwa
mereka tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Dengan perbedaan yang ada manusia
bisa mempelajari dan memahami berbagai lika liku kehidupan. Bahwa dengan adanya
perbedaan tercipta sesuatu yang indah didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Zainuddin, 2008. Hukum
Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamid
Abdul, 2008. Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim.
Muhammad Isa Bin Surah At-Tirmidzi, Terjemhan Sunan Tirmidzi, Juz 2
“Terj.”Muh. Zuhri (Semarang,Asy-Syifa:1992) .
Rahmat Syafei, 2001 .Fiqh
Muamalah, Bandung : Pustaka Setia.
Sunan Abi Daud, Terjemahan Sunan Abi Daud, Buku 4
“Terj.”Bey Arifin, Dkk. (Semarang, Asy-Syifa: Tt) .
Sudarsono Heri, 2003. Bank
Dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.
[1]
Ali Zainuddin, 2008. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.1.
[2]
Sudarsono Heri, 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta:
Ekonisia, hlm.156.
[3]
Ali Zainuddin, 2008. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika,
hlm.2-3.
[6]
http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/rahn.html?m=1 diunduh pada tanggal 20/12/2014
pukul 10:15
[7]
Sudarsono Heri, 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta:
Ekonisia, hlm.164.
[8]
Rahmat syafei, fiqh muamalah, bandung : pustaka setia bandung 2001 hal 189.
[9]
Ibid hal 209.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar