Sabtu, 18 Juni 2016

Rahn




RAHN (GADAI) 
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam kehidupan ekonomi sekarang ini sangat tidak adil karena hanya menguntungakan pihak-pihak pemodal besar hal tersebut di sebabkan oleh sistem ekonomi kapitalis yang selalu menggrogoti keuntungan-keuntungan dengan tidak mengindahkan dari prinsip kemanusiaan, tolong-menolong, dan prinsip-prinsip lainya yang ada di islam, oleh karena itu denggan adanya permasalahan tersebut maka hadirlah makalah ini untuk mempelajari gadai.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Pengertian
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Mudatstsir (74) ayat 38 sebagai berikut. [1]
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”
            Yang dimaksud “tetap” dan kekal adalah makna dalam kata al-habsu, yang artinya menahan. Kata tersebut bersifat materi. Jadi ar-rahn menurut bahasa berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.
            Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang memberi utang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.[2]
Berikut pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam.
1.      Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut, yang artinya:
Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
2.      Ulama Hambali mengungkapkan sebagai berikut, yang artinya:

Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
3.      Ulama madzhab Maliki mendefinisikan sebagai berikut:
Sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
4.      Muhammad Syafi’I Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) mem[eroleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.[3]
            Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa gadai berarti menahan barang jaminan milik si peminjam yang bersifat ekonomis sebagai jaminan, agar pihak yang menahan mendapat jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai tersebut, apabila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang ditentukan
C. . HADIST-HADIST TENTANG RAHN
 H .R Bukhori no 1926

JALUR SANAD KE - 1
                                                                                      

نْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَن دِرْعًا لَهُ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِالْمَدِينَةِ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ
 “Anas Ibn Malik suatu saat mendatangi Rasulullah dengan membawa roti gandum dan sungguh Rasulullah SAW telah menangguhkan baju besi kepada orang Yahudi di Madinah ketika beliau  mengambil (meminjam) gandum dari orang Yahudi tersebut untuk keluarga Nabi.”

ﺍﻠﺭﻫﻥﻴﺭﻜﺏﺒﻨﻔﻘﺘﻪﺇﺫﺍﻜﺎﻥﻤﺭﻫﻭﻨﺎﻭﻟﺒﻥﺍﻟﺩﱠﺭﱢﻴﺸﺭﺏﺒﻨﻔﻘﺘﻪﺇﺫﺍﻜﺎﻥﻤﺭﻫﻭﻨﺎﻭﻋﺎﻰﺍﻠﺫﻱ ﻴﺭﻜﺏﻭﻴﺸﺭﺏﺍﻠﻨﻔﻘﺔ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberi makanan.”(Hr. Bukhori, no.2512).





ﺣﺪﺛﻨﺎﻣﺴﺪد:ﺣﺪﺛﻨﺎﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﻋﻤﺶﻗل:ﺗﺬاﻛﺮﻧﺎﻋﻨﺪاﺑﺮﻫﻴﻢاﻟﺮﺣﻤﻦﻮاﻟﻘﺒﻴﻞ
ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎلٳﺑﺮاﻫﻴﻢ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا لَهُ مِنْ حَدِيدٍ
Terjemahannya:
Meriwayatkan Musaddad: Meriwayatkan ‘Abdul Wahid: Dari al-A’masyi, dia berkata: Kami membicarakan masalah gadai dan memberi jaminan dalam jual-beli sistem salaf di samping Ibrohim. Maka Ibrohim berkata: “al-Aswad telah menceritakan kepada kami dari Aisyah ra bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi hingga waktu yang ditentukan (tidak tunai) dan menggadaikan baju besinya.”[4]






الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)[5]


الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih).

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).

لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ
“Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)

C. PEMBAHASAN DALAM SISI MUAMALAH
Tujuh hadits di atas secara jelas menggambarkan fakta sejarah bahwa pada zaman Rasulullah SAW gadai telah dipraktekkan secara luas. Hadits pertama dan kedua menegaskan Rasulullah SAW pernah melakukan hutang piutang dengan orang Yahudi untuk sebuah makanan. Kemudian beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besinya sebagai penguat kepercayaan transaksi tersebut.
Sedangkan hadits ketiga, keempat, dan kelima Rasulullah SAW telah menegaskan akan hak dan kewajiban bagi pihak- pihak yang melakukan akad gadai. Murtahin dapat memanfaatkan kendaraan yang digadaikan kepadanya, selama ia mau merawatnya. Hal- hal tersebut merupakan landasan hadits yang cukup kuat bahwa gadai adalah sesuatu yang dianggap syah.

Hadits kelima diriwayatkan oleh Bukhori, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Pada intinya pegadaian itu boleh dan barang yang digadaikan harus tetap dirawat. Ada 3 pendapat mengenai hadits di atas:. pertama, Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa piutang boleh memanfaatkan barang dan pemanfaatannya sesuai dengan nafkah yang diperlukan. Kedua, Abu Tsawr berpendapat barang boleh dipegang oleh orang yang menggadaikan. Boleh tetap diambil manfaat selama diberi nafkah. Ketiga, Syafi’I berpendapat bahwa masing- masing pihak tidak boleh mengambil manfaat sebab hanya sebagai barang kepercayaan tetapi orang yang merawat adalah si penggadai.

Pada hadits keenam adalah tentang himbauan untuk tidak menutup hak gadaian terhadap penyitaan barang gadaian. Hadits ini diriwayatkan oleh Asy Syafi’I, Al- Atsram dan darul quthni serta ia mengatakan “Sanadnya hasan muttashil. Ibnu hajar dalam bulughul maram mengatakan “Para perawinya tsiqat. Sesungguhnya (data) yang tersimpan pada Abu Daud dan lainnya, hadits mursal.

Dan pada hadits ketujuh tentang perolehan pemanfaatan barang gadaian. Dalam hal ini ada beberapa pendapat, Asy-Syafi’I berkata “Tak sesuatupun  dari yang demikian itu termasuk dalam barang gadaian”. Dan Imam Malih berkata: Tidak masuk kecuali anak binatang dan anak pohon kurma. Barang gadaian adalah amanat yang ada ditanggung pemegang gadaian, ia tidak berkewajiban meminta ganti kecuali jika melewati batas (kebiasaan), demikian menurut Ahmad dan Asy-Syafi’i.

Dengan adanya beberapa pendapat dari para ulama di atas, dapat diartikan bahwa Gadai (rahn) sendiri secara bahasa artinya tetap dan lestari, seperti juga dinamai Al-Habsu, artinya penahanan. Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Memberikan harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.”
Adapun beberapa rukun dalam melakukan gadai.  yaitu:
1.      Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan),
2.      Al-marhun bih (utang),
3.      Aqidain, dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan  murtahin (pemberi utang),
4.      Shigat Ijab Qabul.
Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi.
Agar terpenuhinya rukun, maka diperlukan syarat dalam pemenuhannya, yaitu: Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu :
a.       orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur).
          Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai), yaitu:
1)      Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
2)      Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
3)      Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
ü  Hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor
ü  Utang bias dilunasi dengan agunan tersebut
ü   Utang jelas dan tertentu.
Syarat yang terkait dengan shighat ijab qabul; ucapan serah terima disyaratkan; harus ada kesinambungan antara ucapan penyerahan (ijab) dan ucapan penerimaan. Apa yang diucapkan oleh kedua belah pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.

v  Hukum-hukum Setelah Serah Terima

Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai, pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di antaranya:
Pertama, pemegang barang gadai.
Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut).
Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Syekh al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.”

Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pen). 

Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.

Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai,
Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan dalil sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,

Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena dalil hadits shahih tersebut. Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan padanya
.
Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi (hewan tersebut).

Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.”
Ketiga, pertumbuhan barang gadai.
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.

Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai tersebut.

Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm berbeda pendapat dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang yang menafkahinya.

Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang gadai.
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.

Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo, sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).

Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu melunasi utangnya tersebut.

Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata hasil penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi milik pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan barang tersebut). Bila hasil penjualan barang gadai tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya.

Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka  penggadai  meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya, karena itu adalah utang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang tanpa gadai.

Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (rahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin, dan murtahin didahulukan atas pemilik piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.

Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Dan apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Hambaliyah.

Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh menagih pelunasan utang kepada penggadai, serta meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila dia tampak tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah hanya boleh memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya, dalam rangka meniadakan kezaliman.

Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena tujuannya adalah membayar utang dan itu telah terealisasikan dengan penjualan barang gadai. Selain itu, juga akan timbul dampak sosial yang negatif di masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang) dipenjarakan.

Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka selesailah utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai tersebut tetap memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai barang  gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang tersebut.

Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita yang banyak berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang ada padanya, walaupun nilainya lebih besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk kezaliman yang harus dihilangkan.[6]

Akad Perjanjian Gadai
Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa penggadaian dapat sah bila memenuhi tiga syarat:[7]
a.                   Harus berupa barang, karena uang tidak bisa digadaikan.
b.                  Penetapan kepemilikan penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang,       seperti mushaf.
c.                   Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah masa pelunasan utang gadai.
Berdasarkan tiga syarat di atas, maka dapat diambil alternatif dalam mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan tiga akad. Ketiga akad perjanjian tersebut adalah:
1.                  Akad al-Qardul Hasan
Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif, oleh karena itu nasabah (rahin) akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadai (marhun) kepada pegadaian (murtahin)
2.                  Akad al-Mudharabah
Akad yang diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif.
3.                  Akad Bai’ al- Muqayadah.
Akad ini diberikan kepada nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif. Seperti pembelian alat kantor, modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal kerja yang diingginkan oleh rahin. Barang gadai adalah barang yang dimanfaatkan oleh rahin ataupun murtahin

Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional:

1.                  Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan. Sedang, gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.
2.                  Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang begerak. Sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
3.                  Dalam rahn tidak ada istilah bunga.
4.                  Gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian, rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.

v  Manfaat Gadai (Rahn)
Pemilik gadai berhak mengambil manfaat dan pengembangannya karena barang itu menjadi miliknya. Orang lain tidak boleh mengambil manfaatnya tanpa izinnya. Jika pemegang gadai meminta izin kepada penggadai untuk memanfaatkan barang gadaian tanpa kompensasi dan modal dari gadai dianggap sebagai hutang, maka yang demikian ini tidak sah karena telah menjadi hutang dengan menarik manfaat.
 Si murtahin boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan itu kalau barang yang digadaikan itu menghendaki nafkah, seperti sapi, kuda dan lain-lain atau memerlukan biaya pemeliharaan atau penjagaannya. Dalam hal ini tidak ada halangan bagi si murtahin untuk mengambil manfaatnya, umpamanya denganmemerah susunya atau memperkerjakan sekedar untuk mengembalikan pengeluaran biaya pada barang gadaian tersebut. Dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan :
Artinya : “ dari Abu Hurairah ra. dari Nabi SAW beliau bersabda , punggung binatang yang dapat ditunggangi boleh ditunggangi bila ia digadaikan dan susu binatang-binatang ternak itu boleh diminum, bila ia digadaikan, dan orang yang menunggangi dan meminum  itu, wajib atas nafkah (belanja) binatang-binatang yang digadaikan itu” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Adapun barang yang tidak memerlukan belanja, umpamanya rumah, kain, sawah, ladang, dan sebagainya, tidak halal diambil manfaatnya oleh penerima gadaian. Hal itu berarti bahwa ia mengambil keuntungan pada uang yang diutangkan padanya. Hal ini tidak diperbolehkan oleh agama.
Pendapat di atas adalah pendapat kalangan Hambaliah. Adapun mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan syafiiyyah berpendapat bahwa pemegang gadai tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian karena manfaatnya tetap menjadi hak penggadai. Hal ini berdasarkan hadits :
“Dia tidak berhak mendapatkan bagiannya dan berkewajiban (membayar) hutangnya.” (Riwayat ad Daroqutni dan al-Hakim)
Tidak ada ulama yang memakai hadits tentang bolehnya memanfaatkan sesuatu yang digadaikan dengan dikendarai atau diperah sesuai dengan biaya perawatan yang dikeluarkan kecuali Imam Ahmad. Padahal, inilah pendapat yang rajih (valid) karena berdasarkan hadits yang shohih. 
 Barang Tergadai yang Rusak
Syafiiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kekuasaan orang yang menerima gadai adalah kekuasaan kepercayaan sehingga ia tidak menanggung kerusakan barang gadaian kecuali disebabkan oleh kesalahannya. Ini berdasarkan hadits :
“Ia (pemegang gadai) tidak boleh menutup hak gadaian dari pemiliknya yang menggadaiakn. Ia berhak memperoleh bagiannya dan dia wajib membayar hutangnya” (Hadits riwayat Al-Baihaqi)
Jika pemegang gadai wajib menanggung barang gadai yang rusak, maka tidak ada orang yang mau melakukannya karena takut menanggung. Hanafiyyah berpendapat bahwa kekuasaan menanggung sehingga ia menanggung barang gadai yang rusak dengan harapan minimal.
Mereka berargumentasi dengan hadits Atha Ibnu Rabah yang menceritakan bahwa  seorang laki-laki menggadaikan kuda. Kemudian kuda itu mati. Rasulullah SAW  bersabda kepada pemegang gadai (artinya) “telah hilang hakmu” (Riwayat Abu Dawud) Kalangan Malikiyyah membedakan antara barang yang dapat disembunyikan, seperti perhiasan, dan barang yang tidak dapat disembunyikan, seperti hewan dan pekarangan. Pemegang gadai menanggung pada barang pertama dan tidak menanggung pada barang kedua kecuali karna keteledoran. Pendapat yang rajih (valid) adalah bahwa barang gadai merupakan amanat di tangan pemegang gadai berdasrkan hadits Said Ibnu Al Musayyab dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi SAW bersabda : 
”Ia (pemegang gadaian) tidak boleh menutup hak gadaian dari orang yang menggadaikannya. Ia berhak memperoleh bagiannya dan dia wajib membayar hutangnya.” (Riwayat Ad Daroqutni dan Al Hakim)
Maksudnya, penggadai mempunyai hak manfaat atau hasil dari barang yang ia gadaikan dan ia juga menanggung kerugian dan kerusakannya. Penggadai telah rela menyerahkan amanah kepada pemegang gadai sehingga ia seperti yang menitipkan barang. Imam Malik berpendapat bahwa sesuatu yang tampak kerusakannya, seperti pekarangan, adalah amanah maka semuanya amanah. Abu Hanifah berpendapat bahwa nilai barang gadai yang lebih dari nilai hutang merupakan amanah, maka semuanya juga amanah.[8] 

Hak Menjual Barang Sendiri
Barang gadai adalah hak penggadai dan masih menjadi miliknya. Jika ia telah mendapatkan hutang dengan jaminan barangnya, maka ia wajib membayar hutang itu seperti hutang pada umumnya tanpa gadai. Jika ia membayar semua hutangnya, maka ia berhak mendapatkan barang yang ia gadaikan. Jika ia tidak dapat membayar semua hutang atau sebagiannya, maka ia wajib menjual sendiri barang yang ia gadaikan atau mewakilkan orang lain dengan izin pemegang gadai, kemudian ia membayar hutangnya. Jika penggadai tidak mau melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barangnya yang ia gadaikan, maka hakim menahannya dan memaksanya untuk menjual barangnya. Jika ia tetap tidak melaksanakannya, maka hakim yang menjualnya dan membayarkan hutangnya.
Demikian ini adalah pendapat Syafiiyyah dan hanabilah. Malikiyyah berpendapat bahwa hakim menjual barang yang digadaikan, membayarkan hutang penggadai, tetapi tidak menahannya. Hanafiyyah berpendapat bahwa pemegang gadai berhak menuntut penggadai untuk melunasi hutangnya, dan meminta hakim menahannya jika jelas-jelas menunda membayar hutangnya. Hakim tidak boleh menjual barang yang digadaikan karena ia terkena hajr (ditahan dari membelanjakan hartanya), yang berarti kehilangan kelayakan jual beli, maka ia tidak boleh menjual barangnya yang digadaikan.
Akan tetapi, ia ditahan sampai ia menjualnya karena mengantisipasi adanya kedzaliman. Pendapat yang rajih (valid) adalah hakim boleh menjual barang gadai dan menggunakannya untuk membayar hutang penggadai tanpa menahannya karena tujuannya adalah melunasi hutang, dan telah terwujud dengan hal itu. Disamping itu, penahansn penggadai dapat mengakibatkan hal-hal negativ di masyarakat. jika harga barang yang digadai dapat menuup jumlah hutangnya, maka telah selesai urusan hutang piutang. Jika tidak cukup, maka penggadai harus melunasi kekurangannya[9]

BAB III

PENUTUP


A. KESIMPULAN


Dengan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa praktek gadai sudah terjadi sejak zaman Rasulullah, yaitu ketika beliau menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi. Oleh karena itu gadai dibolehkan. Adapun beberapa pendapat ulama mengenai gadai, seperti Imam Syafi’I, Ahmad bin Hambal, Abu Tsawr, Tirmidzi, Abu Daud yang menjelaskan gadai dengan pemikiran mereka masing- masing.

Perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Pegadaian mempunyai landasan hukum yang terdapat dalam QS. al-Baqarah: 283. Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun dan syarat gadai syariah. Dalam mekanisme perjanjian gadai, ,menggunakan tiga akad perjanjian yaiu: akad al-qordul hasan, akad al-mudharabah, akad bai’ al-muqayadah.

            Pada dasarnya gadai merupakan akad tabaruk, yaitu akad tolong menolong. Dimana setiap manusia haruslah saling tolong menolong. Disini manusia menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Dengan perbedaan yang ada manusia bisa mempelajari dan memahami berbagai lika liku kehidupan. Bahwa dengan adanya perbedaan tercipta sesuatu yang indah didalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Zainuddin, 2008. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamid Abdul, 2008. Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim.
Muhammad Isa Bin Surah At-Tirmidzi, Terjemhan Sunan Tirmidzi, Juz 2 “Terj.”Muh. Zuhri (Semarang,Asy-Syifa:1992) .
Rahmat Syafei,  2001 .Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia.
Sunan Abi Daud, Terjemahan Sunan Abi Daud, Buku 4 “Terj.”Bey Arifin, Dkk. (Semarang, Asy-Syifa: Tt) .
Sudarsono Heri, 2003. Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.


[1] Ali Zainuddin, 2008. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.1.
[2] Sudarsono Heri, 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia, hlm.156.
[3] Ali Zainuddin, 2008. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.2-3.
[5] http://Menggenggam.Dunia.Rahn.html diunduh pada tanggal 20/12/2014 pukul 10:10
  
[6] http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/rahn.html?m=1 diunduh pada tanggal 20/12/2014 pukul 10:15
[7] Sudarsono Heri, 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia, hlm.164.
[8] Rahmat syafei, fiqh muamalah, bandung : pustaka setia bandung 2001 hal 189.
[9] Ibid hal 209.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar