Sabtu, 18 Juni 2016

Book Review Filsafat Hukum Islam



Nama              : AMALIYANAH                               Jur/smt                     : Muamalah-2/ 7
NIM                : 14122210929                                  Mata Kuliah   : Filsafat Hukum Islam


“ TUGAS BOOK REVIEW FILSAFAT HUKUM ISLAM “

a. Ketentuan  umum
Judul buku                              : Filsafat Hukum Islam
Pengarang/penulis                     :  Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA
Penerbit                                    : Logos Wacana Ilmu
Kota penerbitan                         : Jakarta
Tahun terbit                              : 1997
Jumlah halaman                            :  190
Indeks                                        : Ada
Daftar pustaka                          : Ada
Transliterasi Arab-Indo              :  -
Biodata penulis                           : Ada
Kata pengantar                              : Ada
ISBN                                          : Ada



A. PENDAHULUAN
Filsafat Hukum Islam berupaya mengkaji hukum Islam dengan pendekatan filsafat untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. sehingga saya menyusun review ini dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam. Dalam review ini akan dijelaskan hal-hal yang berhubungan dengan Filsafat Hukum Islam.
Review ini diangkat dan disusun berdasarkan buku Filsafat Hukum Islam bagian pertama oleh Dr. H. Fathurrahman Djamil, M. A., dan dalam buku ini penulis menyajikan tentang Filsafat Hukum Islam secara padat, luas, dan mendalam melalui pendekatan komperhensif dan komparatif dengan mengetengahkan pandangan para filosof, ahli filsafat, dan pakar hukum Islam terkemuka dari berbagai mazhab dan aliran.
Didalam bukunya Dr. H. Faturrahman Djamil, MA. Yang merupakan bahan dasar susunan review ini, penulis membahas lebih luas mengenai filsafat Hukum Islam, yaitu: Terdiri dari III Bab. Bab I membahas mengenai Seputar Filsafat Hukum Islam, Bab II membahas Hukum Islam: Antara Wahyu Tuhan dan Pemikiran Manusia dan Bab III membahas Tujuan Hukum dalam Islam. Diantara semua pokok bahasan tersebut, saya akan mengangkat satu pembahasan untuk dijelaskan lebih rinci, yaitu pada Bab I sub bab bagian D yang berisi tentang Hubungan Antara Filsafat Hukum Islam Dengan Ilmu Lain. Yang akan menjadi judul review saya guna memenuhi tugas Filsafat Hukum Islam. Sehingga dari review ini kita dapat mengetahui ilmu apa saja yang berhubungan dengan Filsafat Hukum Islam, dan bagaimana hubungan ilmu-ilmu tersebut?

B. ISI BUKU
1. Filsafat Hukum Islam
Filsafat hukum islam ialah  filsafat yang diterapkan pada hukum islam dan merupakan filsafat khusus dan obyeknya tertentu, yaitu hukum islam menganalisis hukum islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum islam secara ilamiah dengan filsafat sebagai alatnya.
            Filsafat hukum islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum islam, sumber asal muasal hukum islam dan prinsip penerapannya serta fungsi dan manfaat hukum islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya.
2. Obyek Filsafat Hukum Islam
Obyek   filsafat   hukum   islam   meliputi   obyek   teoritis   dan   obyek   praktis. Obyek teoritis FHI adalah obyek kajian yang merupakan teori-teori hukum islam yang meliputi :
1)    Prinsip-prinsip hukum islam
2)   Dasar-dasar dan sumber-sumber hukum islam
3)   Tujuan hukum islam
4)   Asas-asas hukum islam, dan
5)   Kaidah-kaidah hukum islam
Para ahli ushul fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum islam membagi filsafat hukum islam kepada dua rumusan, yaitu filsafat tasyri’ dan filsafat syari’ah.
 1. falsafah tasyri’ : filsafat yang memancarkan hukum islam atau menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat atau tujuan penetapan hukum islam. Filsafat tasri/ terbagi kepada :
a. Da’aim al-ahkam (dasar-dasar hukum islam)
b. Mabadi’ al-ahkam (prinsip-prinsip hukum islam)
c. Ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum islam) atau mashadir al-ahkam (tujuan-tujuan hukum islam)
d. maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan hukum islam)
e. Qawaid al-ahkam (kaidah-kaidah hukum islam)
2. Falsafat syari’ah : falsafat yang diungkapkan darinnateri-materi hukum islam, seperti ibadah, mu’amalah, jinayah, ‘uqubah, dan sebagainya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan rahasia hukum islam. Termasuk dalam pembagian falsafat syari’ah adalah :
a.    Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum islam)
b.    Khasa’is al-ahkam (ciri-ciri khas hukum islam)
c.    Mahasin al-ahkam atau Mazaya al-ahkam (keutamaan-keutamaan hukum islam)
d.    Thawabi’ al-ahkam (karakteristik hukum islam)
3.  Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Pada pertumbuhan filsafat hukum islam ini berawal dari sumber hukum islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah terhadap segala permasalahannya yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin diperbolehkan berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna untuk menemukan ketentuan hukum. lalu muncul adanya permasalahan yang timbul pada zaman Rasulullah dan setelah Rasulullah wafat, pemikiran mengenai falsafi terhadap hukum islam yang ada nashnya bermula pada masa khulafaurrasyidin, terutama umar bin khattab. Hukum diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kesejahteraan masyarakat, senantiasa mengalami perubahan, untuk itu pengertian dan pelaksanaan hukum harus sesuai dengan keadaan yang ada. Artinya asas dan prinsip hukum tidakklah berubah, tetapi cara penerapannya harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, jadi penerapan hukum harus dapat menegakkan kemaslahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukum islam.
3. Hubungan filsafat Hukum Islam dengan Ilmu Lain.
Dalam hal ini, keduanya sangat berkaitan sangat erat satu sama lain dalam ilmu pengetahuan, filsafat dan agama, bahwa manusia tidak bisa hidup dengan hanya berpegang kepada kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat. tanpa adanya kebenaran agama. Krena agama menetapkan tujuan, tetapi ia tidak dapat mencapainya tanpa bantuan ilmu pengaetahuan dan filsafat. ilmu yang kuat dapat memperkuat keyakinan keagamaan. Agama senantiasa memotivasi pengembangan ilmu pengetahuan. ilmu pengetahuan akan membahayakan umat manusia jika tidak dikekang dengan agama. Dari sisi sini dapat diambil konklusi bahwa ilmu tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu lumpuh.
a)  Teori kebenaran
Manusia merupakan makhluk yang diberikan akal untuk berpikir, Berpikir adalah bukti keberadaan manusia. Dengan berpikir manusia membedakan dirinya dari makhluk lain. ketika manusia berpikir, dalam dirinya timbul pertanyaan. Apabila seseorang bertanya tentang sesuatu, berarti ia memikirkan sesuatu tersebut. Bertanya merupakan refleksi pemikiran untuk mencari jawaban. Jawaban yang diharapkan adalah suatu kebenaran,. Dengan bertanya berarti seseorang mencari kebenaran. Konklusinya “manusia adalah makhluk pencari kebenaran”.
Apakah kebenaran itu? Tiga teori terbit dalam blantika pemikiran manusia untuk memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Ketiga teori itu adalah: teori korespondensi, teori koherensi, teori pragmatis.
-          Teori Korespondensi
Menurut teori ini, kebenaran merupakan kesesuaian antara data atau statemen dengan fakta atau realita. Sebagai ilustrasi, pernyataan bahwa Muhammad adalah putra Abdullah dinyatakan benar apabila Abdullah benar-benar punya anak yang bernama Muhammad.
-          Teori Koherensi
Teori koherensi menyatakan bahwa kebenaran ditegakkan atas hubungan keputusan baru dengan keputusan-keputusan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya terlebih dahulu. Suatu proposisi dinyatakan benar apabila ia berhubungan dengan kebenaran yang telah ada dalam pengalaman kita. Dengan demikian, teori ini merupakan teori hubungan semantik, teori kecocokan, atau teori konsistensi.
-          Teori Pragmatis
Dalam teori ini, sebuah proposisi dinyataan sebagai suatu kebenaran apabila ia berlaku, berfaedah dan memuaskan. Kebenaran dibuktikan dengan kegunaannnya, hasilnya dan akibat-akibatnya. Sebagai misal, agama itu benar buan disebabkan karena Tuhan itu ada dan disembah oleh penganut agama, tetapi agama itu benar karena ia mempunyai dampak positif bagi masyarakat.
b) Ilmu Pengetahuan, Filsafat, dan Agama
Ø  Ilmu Pengetahun
Dalam Ensiklopedia Indonesia dinyatakan bahwa secara epistimologi setiap pengetahuan manusia merupakan kontak dari dua hal, yaitu: obyek dan manusia sebagai subyek. Dengan demikian secara sederhana, pengetahuan merupakan kontak antara manusia sebagai subyek dengan obyek yang berupa berbagai permasalahan yang merasuk dalam pikiran manusia.
Sedangkan kata ilmu pengetahuan menurut Ensiklopedia Indonesia adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun sedemikian rupa, menurut asas-asas tertentu, sehingga menjadi kesatuan; suatu sistem dari berbagai pengetahuan didapatkan sebagai hasil pemerikasaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode tertentu (induksi, deduksi).
Sikap ilmiah adalah sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang ilmuwan dalam mempelajari. Meneruskan, menerima, atau menolak, dan mengubah atau menambah suatu ilmu. Sikap ilmiah tersebut pada intinya adalah:
a. Skeptis, sikap skeptis senantiasa menyangsikan dan meragukan setiap ilmu pengetahuan. Sikap ini dilanjutkan dengan hasrat, minat, dan semangat yang menyala untuk mencari jawaban yang memuaskan dari berbagai persoalan.
b. Obyektif. Menghindari subyetivitas, emosi, prasangka, dan pemihakan.
c. Berani dan intelek. Berani menyatakan kebenaran dan tidak mundur oleh tekanan; tidak menyerah dan putus asa dalam mencari kebenaran.
d. Terbuka. Kesediaan untuk menyatakan “saya keliru” apabila terbukti adanya kesalahan. Sikap ini berlandaskan pada sifat ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu relatif.
e. Sederhana. Rendah hati dan toleran terhadap sesuatu yang telah diketahui dan tidak diketahui.
- Relativitas Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah selesai dipikirkan. Ia merupakan suatu hal yang tidak mutlak. Kebenaran yang dihasilkan ilmu pengetahuan bersifat relatif (nisbi), positif, dan terbatas. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai alat lain dalam menguak rahasia alam kecuali indera dan kecerdasan (otak)- termasuk di sini peralatan yang diproduksi oleh otak manusia.
Hasil penelitian, penyelidikan dan percobaan ilmu pengetahuan lama, akan disisihkan oleh penelitian, penyelidikan dan percobaan baru, yang dilakukan dengan metode-metode baru dan dengan perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna. Teori Enstein yang didasarkan atas studi percobaan-percobaan Michelsou dan Morley, misalnya, menyisihkan ketentuan fisik Newton. teori Relativitas Enstein inipun bukanlah kebenaran mutlak, ia tetap terbuka terhadap kritik.
Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka bagi peninjauan kembali berdasarkan fakta dan data baru yang sebelumnya tidak diketahui. Kebenaran ilmiah tidak bergantung kepada siapa yang menyampaikan ilmu tersebut. Akan tetapi, ilmu itu sendiri yang akan mengoreksi. Matematika sering diistilahkan dengan ilmu pasti. Namun demikian, ia tidak selalu membahas yang pasti. Sebagai misal, teori probabilitas merupakan teori kemungkinan. Demikian pula dengan perhitungan yang dipergunakan matematika dalam kebanyakan pratiknya merupakan “approximations”.
Dalam pandangan sebagian ilmuwan, alam yang diketahui manusia merupakan alam ciptaannya sendiri, bukan alam ciptaan Allah. Alam yang diselidiki ilmu pengetahuan ibaratnya sebuah “gunung es”. Pengetahuan manusia terbatas pada bagian yang muncul ke permukaan samudera, selebihnya merupaan misteri.
Ø  Filsafat
Tujuan filsafat adalah memberikan Weltanschauung (filsafat hidup). Weltanschaungg mengajari manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang mengikuti ebenaran, mempunyai ketenangan pikiran, kepuasan, kemantapan hati, kesadaran akan arti dan tujuan hidup, gairah rohani dan keinsafan; setelah itu mengaplikasikannya dalam bentuk topangan atas dunia baru, menuntun kepadanya, mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan, berjiwa dan bersemangat universal, dan sebagainya.
Apakah semua tujuan filsafat akan tercapai? Satu-satunya alat yang dipergunakan filsafat adalah akal. Akal merupakan satu bagian rohani manusia. Keseluruhan rohani-perasaan, akal, intuisi, pikiran, dan naluri atau seluruh kedirian manusia-tentunya lebih ampuh dan manjur daripada sebagian daripadanya. Sedangkan keseluruhan rohani itu sendiri, merupakan bagian dari manusia. Manusia merupakan makhluk yang tidak sempurna. Sebuah institusi yang tidak sempurna tidak dapat mencapai kebenaran yang sempurna, kecuali apabila mendapat uluran tangan dari Yang Maha Sempurna.
Keterangan di atas memberikan pemahaman, bahwa seperti kebenaran ilmu pengetahuan yang bersifat positif dan relatif karena bersandar kepada kemampuan manusia semata, kebenaran filsafat juga bersifat relatif, subyektif, alternatif, dan spekulatif, karena ia bersandar pada kemampuan akal juga.
Ø  Agama
Sesuatu yang berkaitan dengan agama menjadi persoalan yang sarat emosi, subyektivitas, kecendrungan, dan adang sifat tidak mengenal tawar-menawar. realitas ini dikarenakan konsepsi tentang agama menyangkut kepentingan agama tersebut, keyakinan dan perasaan. Contohnya, definisi agama sangat dipengaruhi oleh tujuan dalam memberikan definisi tersebut. Hampir setiap orang involved (terlibat) dengan agama yang dianutnya dan dipengaruhi oleh pengalaman keagamaan yang diketahuinya. Karena itulah, tidak ada definisi agama yang dapat diterima secara umum.
Meskipun agama memiliki definisi beraneka ragam, terdapat ciri-ciri tertentu yang dimiliki oleh semua agama. Ciri-ciri tersebut merupakan titik-titik persamaan agama-agama. Titik-titik persamaan itu adalah kebaktian, pemisahan antara yang sakral dengan profan, kepercayaan terhadap jiwa, kepercayaan kepada Tuhan, penerimaan hal supranatural dan keselamatan. Dari titik-titik persamaan itu dapat diambil pemahaman bahwa yang dimaksud dengan agama adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan, berupa ajaran tentang ketentuan, kepercayaan, kepasrahan, dan pengamalan, yang diberikan kepada makhluk yang berakal, demi keselamatan dan kesejahteraannya di dunia dan di akhirat.
c) Agama Sebagai Kebenaran Mutlak
1.  Keterbatasan Akal
Akal adalah salah satu potensi manusia yang berkesanggupan untuk mengerti dan memahami sedikit tentang realitas kosmis kemudian mengolah dan merubah sebatas kemampuan serta, menjelajahi dunia rohaniah. Pemahaman dan penyelidikan akal terbatas pada dunia yang tampak dan hasilnya tidak sanggup memberian kepastian. Karena itu, manusia harus berhenti dari ativitas akalnya ketika akal telah sampai pada kulminasinya dan berpindah kepada keimanan ketika berbicara tentang Tuhan, akhirat dan sesuatu yang berada di luar kemampuan akal. Akal memberi kebebasan kepada manusia untuk percaya dan tidak percaya tentang wujud Tuhan, tapi agama dan perasaan mewajibkan manusia untuk percaya bahwa Tuhan itu ada.
Penggunaan akal tanpa diiringi dengan keimanan pada agama dan kepercayaan pada keterbatasan akal akan membuat manusia mempertuhankan akal dan terjerumus dalam jurang kesalahan. Akal dapat berargumentasi tentang ada dan tiadanya tuhan. Rasio dapat menggambarkan Tuhan dalam berbagai corak, seperti pantheisme, politheisme, monotheisme, dua-theisme, tri-theisme dan lain-lain. padahal, Tuhan bukanlah obyek pengenalan seperti benda-benda lain. satu-satunya yang dapat mengerti Tuhan adalah Tuhan sendiri, manusia dapat mengenal Tuhan hanya melalui penjelasan Tuhan saja. Itulah satu-satunya sumber pengetahuan tentang Tuhan. Penjelasan Tuhan mengenai dirinya bukanlah wilayah rasio manusia. Manusia meskipun berfikir tentang Tuhan dengan filsafat, pada akhirnya harus meyakini adanya Allah melalui firmannya. Masalah ini tidak cukup dengan ilmu, akal, dan bukti, tapi harus dengan kepercayaan.
2. Kebenaran Agama
Kita telah mengetahui bahwa ilmu pengetahuan itu terbatas; terbatas subyeknya (penelitinya), obyeknya, dan metodologinya. Hasil penelitian Ilmu Pengetahuan pun kebenarannya bersifat nisbi (relatif) dan positif (berlaku sampai dengan saat ini).
Meskipun ilmu pengetahuan hanya menyelesaikan masalah yang terbatas, tetapi tidak semua masalah yang tidak terjawab atau belum terjawab olehnya lantas dapat diselesaikan oleh filsafat, dan tidak lantas kebenaran positif hasil kebenaran ilmu pengetahuan disempurnakan oleh filsafat. kebenaran filsafat adalah spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, riset, eksperimen), subyektif, dan nisbi (relatif). Tentang suatu masalah yang sama para filosof berbeda pandangannya, sesuai dengan jalan pemikiran dan titik tolak mereka.
Dengan keterbatasan akal manusia itu tidak berarti Tuhan dalam menciptakan manusia itu bertujuan untuk kecelakaan, kebingungan, dan kesengsaraan umat manusia. Keterbatasan itu menunjukkan adanya Yang Maha Sempurna. Terhadap kebingungan manusia dan problematika mereka yang tak terselesaikan, Tuhan memberikan jalan pembebasan. Dengan sifat Rahman dan RahimNya (kasih dan sayang-Nya), Allah berkenan menurunkan wahyuNya kepada manusia sebagai petunjuk, cahaya, dan rahmat agar mereka menemukan kebenaran hakiki dan asasi yang tidak dapat dicapai sekedar dengan akalnya, juga agar manusia mendapat jawaban yang pasti atas persoalan-persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan dan filsafat.
Berulangkali Allah berfirman bahwa Dia-lah Yang Maha Benar dan sumber segala kebenaran. Al-Qur’an yang merupakan firmanNya adalah kitab kebenaran diturunkan sebagai petunjuk, rahmat, dan cahaya bagi semesta alam. Di samping itu Allah juga menegaskan, bahwa Islam adalah agama yang benar. Dengan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an, Allah memutuskan berbagai problematika asasi yang tidak dapat dipecahkan dengan akal manusia. Di antara firman Allah mengenai hal-hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an.
d.  Hubungan Ilmu Pengetahuan, Filsafat, dan Agama
Allah SWT. berfirman:
Artinya: “Berikanlah kabar gembira hamba-hambaku yang mau mendengarkan al-Qaula (ide, pendapat), kemudian mengikuti yang paling baik”. (Qs. Al-Zumar/39: 17-18)
Rasulullah pernah bersabda:
“Hikmah itu adalah barang hak milik orang yang beriman; dimanapun mereka temukan hikmah itu, mereka paling berhak untuk memilikinya”.
Dari ayat dan hadis di atas, dapat ditimba pemahaman bahwa di samping ada kebenaran mutlak yang terdapat pada agama dan terejawantahkan dalam wujud al-Qur’an, juga diakui adanya kebenaran yang sesuai dengan kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Kebenaran tersebut merupakan hasil usaha manusia dengan akalnya. Akal adalah pemberian Allah Yang Maha Benar, dan Allah menciptakannya tidaklah dengan kesia-siaan. Karena itu, akal bukanlah untuk disia-siakan, tapi harus dimanfaatkan. Meski kebenarannya relatif, bukan berarti produk akal lantas ditinggalkan. Kebenaran relatif harus dimanfaatkan dengan senantiasa mengingat sifat kerelatifannya. Artinya, dalam berpegang kepada kebenaran relatif, seseorang harus siap untuk meninggalkannya manakala diketemukan hasil yang lebih benar dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Manakala kebenaran ralatif bertentangan dengan kebenaran mutlak, ia harus segera berpindah kepada kebenaran mutlak tersebut.
Dengan keterangan di atas jelaslah, bahwa di samping ada kebenaran mutlak yang langsung datang dari Allah SWT., diakui pula eksistensi kebenaran relatif sebagai hasil budaya manusia, baik kebenaran itu berupa kebenaran spekulatif (filsafat) dan kebenaran positif (ilmu pengetahuan) maupun kebenaran sehari-hari (pengetahuan biasa).
C. ANALISIS
Dalam mempelajari Filsafat Hukum Islam, ilmu lain juga berperan penting untuk terwujudnya tujuan dari Filsafat Hukum Islam itu sendiri. Karena menurut saya dengan mempelajari filsafat hukum Islam, kita akan mengetahui dengan jelas mengenai hukum Islam itu sendiri. Sehingga umat manusia, khususnya umat Islam akan lebih baik menjalankan kehidupan yang sesuai dengan syari’at Islam. Dan ilmu lain yang berperan penting dan saling berhubungan dengan filsafat hukum Islam antara lain, ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Karena filsafat hukum Islam adalah gabungan antara filsafat dan hukum Islam. Sebagaimana yang dimaksud dengan hukum Islam adalah “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”.
Kemudian Sebagaimana yang dimaksud dengan filsafat, saya setuju dengan pendapat yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam buku susunan Prof. Dr. Juhaya D. Praja yang berjudul “ Aliran-aliran Filsafat dan Etika”, bahwa Filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Dan saya juga setuju dengan pendapat yang dikemukan oleh Immanuel Kant dalam buku susunan yang sama, bahwa Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan, yaitu:
1. Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )
2. Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
3. Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
4. Apakah yang manusia itu ? (jawabannya Antropologi )
Sehingga menurut saya ilmu pengetahuan, agama, dan filsafat sangatlah erat kaitannya dengan filsafat hukum Islam karena dengan bantuan ilmu pengetahuan dan filsafat maka tujuan dari agama tersebut dapat tercapai. Namun untuk lebih jelasnya dalam memahami hubungan tersebut, maka yang perlu diketahui dahulu yaitu mengenai apa yang dimaksud dengan kebenaran. Karena dalam filsafat kajian tentang standar kebenaran sangat penting, dan karena salah satu definisi filsafat adalah cinta kepada kebenaran. Dan dengan kebenaran kita akan mengetahui segala sesuatu itu dengan pasti.
Wilayah agama, wilayah ilmu pengetahuan, dan wilayah filsafat memang berbeda. Agama mengenai soal kepercayaan dan ilmu mengenai soal pengetahuan. Pelita agama ada di hati dan pelita ilmu ada di otak. Meski areanya berbeda, sebagaimana dijelaskan di atas, ketiganya saling berkait dan berhubungan timbal balik. Agama menetapkan tujuan, tetapi ia tidak dapat mencapainya tanpa bantuan ilmu dan filsafat. ilmu yang kuat dapat memperkuat keyakinan keagamaan. Agama senantiasa memotivasi pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan membahayakan umat manusia jika tidak dikekang dengan agama. Dari sini dapat diambil konklusi, bahwa ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu lumpuh.
D. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan review tersebut, maka saya berkesimpulan bahwa Filsafat Hukum Islam erat kaitannya dengan ilmu lainnya. Karena tiap ilmu pasti membutuhkan ilmu lainnya untuk dapat mencapai tujuannya. Sehingga ilmu pengetahuan, filsafat, dan agamapun mempunyai peranan yang sangat penting dalam ehidupan manusia. ketiganya mempunyai hubungan yang erat dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam blantika pemikiran manusia.
Dan masing-masing ilmu tersebut mempunyai porsinya masing-masing untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebagaimana ilmu pengetahuan yang secara rasional sesuai dengan data empiris berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia sesuai dengan pengamatan inderawi. Dan selanjutnya mengenai hal-hal yang metafisik akan dijawab oleh filsafat sebagai ilmu yang membahas lebih luas mengenai hal-hal yang tidak dapat ditangkap oleh indera manusia.
Dan selanjutnya untuk jawaban yang dengan kebenaran mutlak, yaitu datang dari Allah. Yaitu dengan agamalah maka jawaban yang kebenarannya mutlak tanpa spekulasi yang merupakan sesuatun yang tidak dapat dicapai oleh ilmu lainnya. Namun demikian tujuan agama tidak dapat tercapai tanpa bantuan ilmu pengetahuan dan filsafat. karena dengan ilmu pengetahuan dan filsafatlah, kebenaran mutlak itu akan didapatkan yang sesuai dengan ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Demikianlah review yang saya susun, semoga dapat bermanfaat dan mungkin masih banyak kekurangan dalam penyusunan review ini. Sehingga lebih dan kurangnya saya mohon maaf. Karena kesempurnaan tak lain hanyalah milik Allah SWT.

Qawaid Fiqhiyah




BAB I
                  PENDAHULUAN              
Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Qowaidh fiqhiyah mempunya beberapa induk  qaidah. Dalam makalah ini kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan salah satu induk dari kaidah-kaidah fiqh yang kelima yaitu Al ‘aadah Muhakkamah (Adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari Kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hokum  dengan melihat sifat dari hukum itu sendiri yang senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Kaidah tentang al-’adah al-Muhakkamah. Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu hukum kully (menyeluruh) yang mencakup semua bagian-bagiannya. Qawa’id fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, salah satu kaidah fiqh yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Definisi Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah  
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Oleh karena itu, sebelum mengurai kaidah ini, perlu diketahui terlebih dahulu tentang adat.
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار ). Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.[1]
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.[2]
االعرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum"
Dari dua definisi di atas, ada unsur berulang-ulang dilakukan dan dalam al-‘urf ada unsur (al-ma’ruf) dikenal sebagai sesuatau yang baik. Kata-kata al-‘urf ada hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan “al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar” dalam Al-Qur’an. Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah atau al-‘urf ini didefinisikan dengan: “apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah ‘al-‘ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Dengan demikian al-'adah atau al-urf yang dapat dikatagorikan muhakkamah adalah budaya atau tradisi atau kebiasaan dari sesuatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu :
1. Dianggap baik melakukan atau meninggalkannya oleh manusia secara umum;
2. Dilakukan atau ditinggalkannya secara terus-menerus dan berulang-ulang; dan
3. Tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Adapun Prof. Dr. H. Rachmat Syafe'i, MA., secara lebih rinci menjelaskan bahwa suatu 'adat atau urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Tidak bertentangan dengan syari'at;
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan;
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.[3]
B. Dasar Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah 
1.      QS. A'raaf (7) Ayat 199

Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ

Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.


2.     Al-Hadits :
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
       "Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka menurut Allah-pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)[4]



C. Karakteristik Adat dan Perbedaannya dengan ‘Urf  
Ø  Karakteristik, bentuk dan pembagian Adat / ‘urf
1. Urf qouli dan fi'ly
Urf qouly adalah kebiasaan adalah jenis kata, ungkapan, atau istilah tertentu yang diberlakukan oleh sebuah komunitas untuk menunjuk ma'na khusus, dan tidak ada kecenderungan makna lain di luar apa yang mereka pahami Kebiasaan masyarakat Indonesia menyebut ekor untuk satuan hewan, contoh seekor sapi, dua ekor kerbau dan seterusnya. Yang dimaksud seekor bukan satu buntut sapi (dalam arti sebenarnya), tetapi satuan bilangan untuk satu sapi, dua kerbau dan seterusnya. Termasuk ke dalam urf qouly, di antaranya kaidah :
الحقيقة تترك بدلالة العادة
"Arti hakiki (yang sebenarnya, ma'na denotatif) ditinggalkan karena ada petunjuk dari arti menurut adat".
Adapun urf fi'li (dalam istilah lain disebut urf amali) adalah pekerjaan atau aktivitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma sosial. Contohnya kebiasaan menggelengkan kepala sebagai tanda tidak setuju, menganggukkan kepala sebagai tanda setuju dan sebagainya. Termasuk ke dalam urf fi'ly ini di antaranya kaidah :
الاذن العرف كالاذن اللفظ
"Pemberian idzin menurut adat kebiasaan sama dengan idzin dengan ucapan".
2. Urf 'am dan khash
Jika ditinjau dari aspek komunitas pelakunya, adat terbagi dua kategori umum yaitu urf iyah 'ammah (budaya global atau universal) dan urf khashshoh (budaya lokal). Termasuk urfiyah ammah adalah adanya ucapan atau pekerjaan yang telah berlaku di seluruh dunia. Contohnya kata tholaq yang berlaku di seluruh dunia untuk menceraikan istrinya atau mengangkat kedua belah tangan sampai ke atas kepala yang berlaku di seluruh dunia untuk memberi tanda menyerah.
Adapun urf khashshah adalah adapt kebiasaan yang hanya berlaku pada suatu bangsa atau daerah tertentu. Contohnya tahlilan ketika ada kematian yang hanya berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia. Termasuk ke dalam urf 'am dan urf khash ini di antaranya berdasarkan kaidah :
التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
"Ketentuan berdasarkan urf seperti ketentuan berdasarkan nash"
3. Urf shahih dan fasid
Pembagian urf kepada shahih dan fasid ini apabila didasarkan kepada nash yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Apabila suatu suatu urf tidak bertentangan nash atau tidak merusak kemashlahatan, maka dikatagorikan kepada urf shahih. Sedangkan apabila bertentangan dengan nash atau menimbulkan kemafsadatan, maka dihukumi sebagai urf yang fasid.
Menurut para ulama adat yang shahih ini boleh atau bahkan wajib dipelihara. Nabi saw-pun sangat apresiatif pada cita kemashlahatan masyarakat Arab melalui adat-istiadat shahih mereka. Contohnya syarat kafa'ah (kesepadanan) dalam perkawinan adalah salah satu adat masyarakat Arab yang diapresiasi oleh Nabi saw dan kemudian menjadi syari'at. Adapun urf yang fasid wajib dihilangkan, karena merusak fondasi hukum-hukum syari'at dan ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi cita kemashlahatan dan menolak keruksakan.
4. Urf sosial dan individual
Pembagian urf ke dalam urf sosial dan urf individual ini hampir sama dengan urf 'am dan urf khash, bedanya urf sosial mencakup urf 'am dan urf khash, sedangkan urf individual hanya berlaku untuk orang perorangan. Dalam khazanah fiqh, ternyata ada hukum-hukum tertentu yang berlaku untuk perorangan.
Contohnya : Haram shalat sunah setelah shalat ashar dan setelah shalat shubuh. Tetapi bagi orang yang telah terbiasa atau dawam shalat sunnah ashar atau shalat sunah shubuh, apabila suatu ketika ketinggalan tidak dapat melaksanakan sebelum ashar atau sebelum shubuh, maka shalat sunah tersebut dapat dilaksnakan setelah shalat ashar atau setelah shalat shubuh.
Demikian pula puasa pada hari syak yang hukumnya haram, tetapi bagi orang yang telah terbiasa puasa sunah, puasa tersebut menjadi tidak haram.
>  Perbedaan antara  al-’Adah dengan al-’Urf al-urf
Proses pembentukan ‘adah adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa membuat tertanam dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi ‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah), sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul pertama kali dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.
Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf dilihat dari sisi terminolgisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah ‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda.
Sekalipun demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Dari pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan urgen, selama dilakukan sevara kolektof, dan hal seperti masuk dalam ketegori ‘urf. Sedang ‘adah mendefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh individu maupun kolektif.



Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘adah dan ‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
-          ‘urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya.
-          ‘adah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.
Sedangkan  persamaannya, ‘urf dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta sesuia dengan karakter pelakunya. [5]
Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf  yang sering disebut dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). [6]


D.  Contoh Kasuistik Terkait (Kehidupan Keseharian atau Peribadatan)  
a)      Contoh ‘adah yang hanya dilakukan sekali saja
Contoh:
-          Kasus pemberian bingkisan kepada calon hakim Agung sebelum ia terangkat menjadi seorang hakim Agung di Mahkamah Agung
Pemberian yang dilakukan sekali ini, sudah bisa dikategorikan sebagai ‘adah (budaya), jika pada akhirnya saat orang tersebut kembali memberikan parsel kepada hakim saat melakukan putusan hukum yang berkaitan dengannya, sehingga pemberian parsel itu, tidak bisa dikategorikan sebagai al-risywah (suap), sebab sudah ada satu kali pemberian bingkisan yang sudah dianggap ‘adah (budaya) sebelum hakim menggunakan otoritasnya sebagai penegak hukum.
-          Kasus perkiraan masa menstruasi dan masa suci.
Dalam menaggapi kasus ini, Imam al-Nwawi berpendapat bahwa darah yang keluar dan dianggap ‘adah itu, dengan satu kali peristiwa.   Kasus ini bisa dilihat dari kondisi wanita yang mubtadi’ah mumayyizah, yaitu wanita yang sejak pertama kali haid sudah bisa membedakan antara darah yang kuat dan darah yang lemah. Jika demikian, fuaha memiliki pendapat sama bahwa darah yang dikeluarkan kedua itu adalah darah al-isthiadlah (darah penyakit), sehingga dengan pertama kali ia mengeluarkan darah haidh, ia sudah dinilai akan mengalaminya secara konstan, sedang darah istihadlah, termasuk darah penyakit yang keluar secara stimulant dari waktu kewaktu (luzumiyah),sehingga ketika ia sudah mengaami satu kali, maka seterusnya akan terus terjadi sesuai dengan cirri-ciri awalnya.
Oleh sebab itu, untuk bulan kedua ia tidak harus menunggu 15 hari untuk melaksanakan ibadahnya, akan tetapi cukup hanya ketika ia melihat terjadinya perpindahan darah dari yang kuat ke yang lemah, dengan memendang satu peristiwa kebiasaan pada bulan sebelumnya bahwa dirinya sedang mengalami istihadlah.




b)      ‘Adah harus terjadi minimal 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali
Contoh :
-          Kasus orang yang memiliki kemampuan telapati untuk menentukan nasab seorang bayi (al-qa’if)
Dalam menanggapi kasus ini, fuqaha menyatakan bahwa pengulangan valid informasinya tidak cukup hanya sekali, tetapi harus berulang-ulang kali, sekalipun fuqaha berbeda pendapat dalam hal kuantitas bilangannya.
-          Kasus tentang ukuran darah haid dan kebiasaan suci yang sedang dialami oleh wanita mu’taddah ketika kan menentukan status hukum darah haid dan istiadhadlahnya saat keluar darah yang lebih dari 15 hari.
Hal ini fuqaha berbeda dalam memberikan solusinya perihal standarisasi masa haidh dan kebiasaan suci ini dalam hal apakah cukup hanya satu kali atau dua kali kebiasaan.
c)      ‘adah yang tidak ada hitungan bilangam secara pasti, sebab yang menjadi titik penekanan (stressing/ wajhu al-dilalah) adalah tercapainya dugaan kuat bahwa apa yang terjadi itu, benar-benar terjadi dan sesuai dengan apa yang telah terjadi itu, benar-benar terjadi dan sesuai dengan apa yang telah ditentukan syari’at.
Contoh :
-          Kasus anak yang umurnya belum mencapai dewasa, tatapi sudah bisa melakukan transaksi tawar-menewar ketika membeli barang,ia bisa mengajukan harga yang labih randah dari harga yang ditawarkan penjual, ia sudah memiliki naluri untuk menawarkan barang jualannya dengan menggunakan harga yang lebih tinggi dari harga yang telah diajukan pembeli. Jika demikian, maka seorang wali (orang yang menguasai) sudah dianggap boleh mempercayainya untuk melaksanakan transaksi jual-beli.
-          Kasus suara berkokok ayamjantan sebagai tanda terbitnya fajar, dan keluarnya burung kelelawar sebagai tanda terbitnya matahari dan sebagainya.
-          Kasus wanita istiadhlah, dimana keluarnya darah berlangsung secara terputus-putus, sedang warna darahnya hanya satu, sehingga sulit dibedakan mana darah haidh dan mana darah istiadhlah. Hal ini orang tidak bisa mengambil kesimpulan soal standarisasi hari-hari haidh yang bisa dijadikan pijakan, sebab dalam kasus ini tidak ditemukan adanya ‘adah.
d)     ‘Adah yang tidak bisa diketahui dengan melihat satu pengulangan atau lebih. Hal ini terjadi pada kasu tawaquf (tidak melakukan ibadah pada saat tidak keluar darah) bagi wanita yang keluar darah secara terputus-putus.
Dari kenyataan seperti itu, dapat disimpulkan bahwa kasus bilangan ‘adah itu tergantung pada kasus yang sedang dihadapi, sedang untuk bisa dikatakan ‘adah itu apakah harus mencapai bilangan satu, dua, tiga dan seterusnya, tergantung pada obyek hukum yang sudah dihadapi. [7]










BAB III
                                                            KESIMPULAN                   
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf --yang sering disebut dalam al-Qur’an diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah. Adapun adat itu dapat dijadikan sebagai landasan hukum apabila:
v  Tidak bertentangan dengan nash
v  Berlaku umum
v  Tidak menimbulkan kerusakan atau kemafsadatan
v  Dan adat itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan pada ‘urf itu.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Djazuli H.A., , Kaidah-Kaidah Fikih, 2007,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2.
Haq Abdul, dkk, Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, 2006, Lirboyo: Khalista & Kakilima Lirboyo.
Prof. Dr., MA Syafe'I Rachmat,. Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007)
Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), 2010, Malang: UIN Maliki Press













[1] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, 2007, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2, hlm. 80
[2] Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, 2007 , Bandung:  Pustaka Setia, cet. Ke-3, hlm. 128.

[3] Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh, 2007, Bandung:  Pustaka Setia, cet. Ke-3, hlm. 291
[4] H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, ...hlm.292

[5] Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),2010, Malang: UIN Maliki Press, hlm. 208-209
[6] Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh Konseptual, 2006 Surabaya: khalista & Kakilima Lirboyo, hlm 293
[7] Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam……hlm. 217-220